Cenderung yang Tak Buta

Minggu, 06 November 2011

Soal cinta...

Aku tak ingin lagi banyak bicara

Semakin sering aku merangkai kata

Semakin sulit aku menyembuh luka

saat cinta memudar warna

atau bahkan... berganti rupa

(1-9-2010)

*********

Sewajarnya. Begitu yang Rasulullah SAW. ajarkan dalam menyukai atau membenci sesuatu. Karena sesuatu yang kita anggap baik, bisa saja suatu saat menjadi hal yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dan sebaliknya, hal-hal yang sangat kita benci, kita jauhi, kita hindari, tidak menutup kemungkinan kelak dapat menjadi teman karib dan sahabat setia. Sebuah justifikasi paten rasanya kurang berhak kita legalkan atas seseorang untuk selamanya. Karena kita terhijab dari masa depan. Kita tak pernah tahu, perubahan apa yang akan terjadi esok. Yang bisa kita berikan adalah penilaian terhadap keadaannya, saat ini. Ya, Saat ini...

Pada tulisan ini saya lebih menyoroti kecenderungan terhadap sesuatu yang kita anggap baik. Terutama dalam hal perasaan. Jaah... iya deh, cinta maksudnya! Mau ngomong gitu aja ribet banget dah saya :p

**********

Kecenderungan yang berlebihan, akan mengaburkan keobjektifan.

Syifa misalnya, sudah bertahun-tahun mengagumi dan mengharapkan seorang seniornya sejurusan yang tampak tampan, sabar, alim, dan berwibawa. Dan Syifa pun merasa, si senior juga memberi harapan padanya. Ketika sebuah tawaran untuk merangkai bahtera rumah tangga datang dari seorang ikhwan yang cukup qualified, Syifa menolaknya. Hasil istikharahnya: tidak diberi kemantapan hati. Namun bukan karena ada cacat pada si ikhwan, melainkan masih mengharapkan si senior, dan hatinya merasa tak lega untuk memulai dengan yang lain, selama senior itu belum mendapatkan pendampingnya. Syifa merasa, dengan ’tanda-tanda’ dari si senior yang selama ini dia rasakan (catat! Yang dia rasakan) pasti masih ada kesempatan baginya untuk menjadi yang terpilih. Ketika mengagumi sesuatu, kita juga mulai menjadikannya sebagai tolak ukur terhadap yang lain.

Bayangkan jika kondisinya berbeda: Syifa belum memiliki pandangan siapa-siapa. Hatinya masih bersih-netral, tentu Syifa bisa lebih objektif memikirkan tawaran ikhwan itu.

***********

Kemudian, kecenderungan yang diiringi justifikasi itu akan berubah menjadi sebuah ekspektasi-ekspektasi yang berlebihan pula. Sementara ekspektasi yang berlebihan, akan memunculkan sebuah kekecewaan yang lebih dalam, bila kita memergoki sebuah kenyataan yang gak sinkron dengan harapan.

Baik, mari kita lanjutkan kisah Syifa tadi. Oke, pada akhirnya, feeling Syifa memang benar. Senior itu pun memilihnya untuk merajut cinta dalam sebuah ikatan yang halal. Mereka pun mulai mendayung biduk bersama. Namun, pada perjalanannya, ternyata tak semulus yang Syifa bayangkan. Ada banyak kekecewaan, dan penyesalan yang datang belakangan, setelah tahu bahwa senior pujaan yang kini menjadi suaminya itu, ternyata tak sesabar, sealim, dan sebijaksana yang dulu ia sangka.

*************

Berbeda dengan mereka yang tak terlalu berekspektasi, sejak awal yang mereka siapkan adalah penerimaan terhadap segala keadaan, baik maupun buruk. Mereka mengandalkan prasangka baik untuk memercayai bahwa kita sesosok makhluk dengan banyak kelebihan, sekaligus menyiapkan sebuah pemakluman, bahwa kita juga manusia biasa dengan segala keniscayaan untuk memiliki kekurangan.

Saya ga bilang ini mutlak, ya. Mereka yang berkecenderungan lebih dulu pasti selalu kecewa pada akhirnya, sementara yang bener-bener mulai mengenal dari nol, selalu dilimpahi kesyukuran dan kebahagiaan. Ga gitu juga, semua lebih tergantung dari komitmen masing-masing pasangan untuk mau saling dibenarkan dan membenarkan atau enggak. Mau saling menjaga agar tetap dalam kebaikan atau enggak. Tapi at least, mindset dan alam bawah sadar yang terbentuk dari sebuah kecenderungan itu seperti yang udah saya tulis berkalimat-kalimat tadi, juga berperan disini. :p

Saya rasa, berharap, berkecenderungan, dan berekspektasi adalah hak masing-masing orang. Tapi kalo boleh saya tambahkan sebuah syarat: harus bisa memanage-nya dengan baik. Tidak berlebihan, tidak mengaburkan keobjektifan, tidak menjadikannya tolak ukur untuk sebuah kesempurnaan, tidak menjadikannya sebagai tujuan dalam memperbaiki diri yang pada akhirnya akan mengurangi keikhlasan kita pada Allah, dan yang paling penting: bersiap tak hanya untuk bahagia, tapi juga kecewa sebagai 2 bentuk konsekuensi atas sebuah harapan. Jadi gak timpang.. Bersiap dengan konsekuensi terburuk, tapi juga tak membuat diri kita terlalu takut untuk terus melangkah.

Susah? Dicoba dulu! :)

Idul adha 1432 H –sebelum hectic dengan bedah J -


1 komentar:

tjuputography mengatakan...

kameranya bagus :D
<3 nikon

Posting Komentar