KEAJAIBAN YANG TAKKAN SIRNA

Jumat, 15 Mei 2009
Waktu berlalu, hari pun berlalu. Perlahan, rasa percaya diri memegang syari’at ilahi melepaskan cengkeramannya dari hati kita. Memudar menjadi samar meski kita pernah yakin dan percaya, bahwa inilah kebenaran itu. Bahkan sakitnya hinaan, caci maki, tekanan psikis, atau siksaan ragawi mungkin pernah kita lalui. Lengkap dengan harga diri yang tak pernah jua meninggi.
Tapi, kesepian dan kesendirian seringkali bukan keadaan yang kita inginkan, meski hari ini ia bahkan menjadi semacam keniscayaan. Dalam banyak kasus, ia bisa sangat mengerikan, dan juga bisa meluluhlantakkan bangunan iman yang dengan susah payah kita coba pertahankan, untuk kemudian larut bersama kebenaran semu bernama “penerimaan” khalayak banyak atas berbagai keyakinan mereka yang palsu. Atau, bisakah ia disebut keyakinan jika landasannya adalah buah pikiran dan sintesa pendapat para manusia tanpa iman yang hanya pintar berdebat? Mencari kenyamanan batin dengan bersandar pada komentar-komentar pilihan nafsu meski berbaju logika ilmiah yang saling menguatkan. Sungguh, ia adalah kenyamanan menggelisahkan meski tampak indah dan megah. Sebab hakikatnya, mereka sendiri berada di atas jurang keraguan atasnya.
Bisakah kita merasa nyaman dalam kesendirian…? Tidak lagi bersedih karena telah “terpilih”? sebab sesungguhnya kalbu kita mengenali, merasai, dan meyakini kebenaran seperti mata yang melihat sinar matahari pagi. Ketika itulah, ia tidak lagi membutuhkan persetujuan orang lain akan kebenaran. Sebab sinarnya yang menyentuh kulit, memberi sensasi rasa yang berbeda dengan cahaya-cahaya lain meski kadang tampak serupa. Yang karenanya, kita yakin, inilah sinar matahari, bukan yang lain. Tidak penting lagi mereka akan menerima atau bahkan tertawa.
Syariat Allah adalah serupa taman wangi bunga dengan buah-buahan ranum yang mengenyangkan jiwa dan akal. Sinarnya seterang hari siang yang memberi petunjuk dalam kelurusan tanpa kebengkokan. Lihatlah! Jejak-jejaknya amat jelas, garis-garisnya amat tegas. Ia menyentuh ruhani, melezatkan jiwa, serta menghidupkan ruh. Karenanya telinga tidak lagi tuli, mata tak lagi buta, kaki tak lagi lumpuh, dan hati tak lagi mati. Airnya tawar dan segar, menyejukkan dahaga jiwa yang kering kerontang. Rasa inilah yang memberi tenaga untuk memperjuangkannya, sebab ia memang berbeda dengan selainnya. Ia adalah keajaiban yang takkan sirna. Rahmat Sang Maha Kuasa yang dihadiahkan kepada kita. Hingga, melawannya adalah kesia-siaan yang hanya membuat malu dan hina… wallahu a’lam
Artikel yang menurutku bagus ini ada di halaman terakhir bulletin mungil ukuran ¼ folio terbitan Rohis Fakultas edisi Rabiul awwal 1429 H (wey… udah lama juga ya?) dalam rubrik muhasabah. aku gak tau, ni artikel ngambil dari buku, internet, atau malah hasil karya salah satu anak syiar Rohis fakultas itu sendiri, tapi yang jelas, rasanya bagus juga kalo aku “bagikan” ke teman-teman yang tidak bertemu langsung dengan bulletin itu sebagai penyemangat untuk tetap menjaga ruhiyah . So, semoga bermanfaat.. ^_^

0 komentar:

Posting Komentar