Lamaranmu Kutolak!!

Rabu, 23 September 2009
sebuah cerita diantara seorang ikhwan dan akhwat. semoga menghibur. sebelumya syukron jazakillah buat budat yang udah nge-tag note ini, dan buat mb Mari yang udah nge-tag note ini ke budat, jadi saya bisa ikutan di tag sama budat.. halah.. kepanjangan.. hehe .^^

oke... and the story goes...:

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya. Melalui ta'aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah.Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan. Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda.Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka menggenapkan agamanya.

Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk 'merebut' sang perempuan muda, dari sisinya.

"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya. "Iya, Pak," jawab sang muda.

"Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? " tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.
"Ya Pak, sangat mengenalnya, " jawab sang muda, mencoba meyakinkan. "Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!" balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."
"Lamaranmu kutolak. Itu serasa 'membeli kucing dalam karung' kan, aku takmau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?" balas sang setengah baya, keras.
Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda. Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."

"Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.
"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus," jawab sang muda, percaya diri. "Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?"

"Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."
"Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok
mau ngatur keluargamu?"

Sang perempuan membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."
"Kamu lulusan mana?"
"Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?"
"Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak."
"Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik
anak-anakmu kelak?"

Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja lho."
"Jadi kamu sudah bekerja?"
"Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."
"Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku."
"Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?"

Bisikan kembali, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."
"Rencananya maharmu apa?"
"Seperangkat alat shalat Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."
"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan
uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."

Bisikan, "Dia jago IT lho Pak"
"Kamu bisa apa itu, internet?"
"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net."
"Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."
"Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak."
"Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter,Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu."

Bisikan, "Tapi Ayah..."
"Kamu kesini tadi naik apa?"
"Mobil Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."
"Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir"
"Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?"

Bisikan, "Ayahh.."
"Kamu merasa ganteng ya?"
"Nggak Pak. Biasa saja kok"
"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini."
"Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!"

Sang perempuan kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.
"Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur'an dan Hadits?"
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, "Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba'in yang terpendek pula."
Sang setengah baya tersenyum, "Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih." Mata sang muda ikut berkaca-kaca.



Ini harus happy ending, bukan? hehe

^^ ^^ ^^ ^^ ^^ ^^ ^^ ^^ ^^ ^^ ^^







Regards,
Muhammad Fikri Isnaini
IT-Operation
Agranet Multicitra Siberkom (detikcom)
http://bangfikri. co.nr
>> Y! : bangfikri@.. .

Kabel dan Cahaya Lampu

Rabu, 09 September 2009
"SAYANG, ayo kita shalat. Tuh dengar adzan telah berbunyi," ujar seorang ibu kepada anaknya yang tengah asyik nonton televisi.
"Sebentar lagi dong, ini lagi seru-serunya," jawab sang anak.
Ibu itu kemudian mendekat, "Sayang, tidak baik menunda-nunda shalat. Ini kan haknya Allah. Ayo matikan tivinya!"
"Iya deh," jawab sang anak sambil beranjak dari tempat duduk. Ia terlihat sangat kecewa karena harus meninggalkan televisi.
Selama di kamar mandi, si anak terus menggerutu. "Ah.. Ibu, tiap hari menggangu saja. Lagi enak-enaknya nonton disuruh shalat. Lagi seneng-senengnya main disuruh shalat. Lagi nyeyak tidur disuruh shalat. Harus baca Al-Qur'an lah. Harus ikut pengajian lah. Harus ini. Harus itu! Bikin pusiiiing.
* * *
SELEPAS shalat berjamaah, anak itu bertanya dengan nada protes. "Bu, kenapa sih kita harus shalat, harus puasa, harus baca Al-Qur'an, dan harus belajar? Bukankah itu mengganggu kesenangan kita? Lagi pula, menurut saya, semua itu tidak ada gunanya, tidak mendatangkan hasil."
Si Ibu sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia pun terdiam beberapa saat. Ada sedikit kemarahan yang muncul dalam hatinya. Tapi ia segera sadar bahwa yang bertanya adalah anak kecil, yang belum tahu apa-apa selain main dan bersenang-senang.
Sang Ibu beranjak mengambil sebuah lampu yang menempel di dinding kamar anaknya. Sesaat kemudian ia berkata, "Anakku sayang, kamu lihat lampu ini. Ia begitu indah. Bentuknya lonjong dengan dindingnya terbuat dari kaca yang bening. Tiap malam engkau bisa belajar, mengerjakan PR, dan nonton televisi, salah satu sebabnya karena diterangi lampu ini."
"Sayang, tahukah kamu mengapa lampu ini bisa menyala?" lanjut si Ibu.
"Ya, karena ada energi listrik yang berubah jadi cahaya," jawab sang anak.
"Benar sekali jawabanmu. Lalu apa yang menyambungkan lampu ini dengan sumber listrik tadi?" tanya si ibu lebih lanjut.
Sang anak pun menjawab dengan pasti, "Yang menyambungkan lampu dan sumber listrik adalah kabel."
"Pintar sekali kamu," timpal si Ibu memuji.
"Nah, sekarang kamu pasti tahu, bila tidak ada kabel pasti lampu ini tidak akan nyala dan kamar ini pasti gelap. Bila demikian, ia tidak akan ada manfaatnya lagi, dan kamu tidak bisa belajar dan nonton tivi."
Sang Anak belum paham mengapa ibunya menceritakan lampu itu kepadanya. "Apa maksud Ibu?" tanyanya kemudian.
Ibu itu kembali berkata, "Anakku sayang, Allah itu sumber cahaya dalam hidup. Kita adalah lampunya. Ibadah yang kita lakukan menjadi kabel atau tali penghubungnya. Ibadah dapat menghubungkan antara Allah dengan manusia, tepatnya antara Allah dengan kita. Bila tidak mau beribadah, hidup kita akan gelap. Kita akan tersesat dan takkan berguna sedikit pun, seperti tak bergunanya lampu yang tak bercahaya."
Ibu itu melanjutkan, "Jadi, shalat, bersedekah, membaca Al-Qur'an, ataupun belajar adalah kabel yang akan menghubungkan kita dengan Allah."
Mendengar semua itu, sang anak tampak tertegun. Dalam hatinya timbul penyesalan akan sikapnya yang selalu menganggap remeh ibadah. Ia pun berkata, "Kalau begitu aku tidak akan meninggalkan shalat lagi dan akan membaca Al-Qur'an tanpa harus disuruh. Bu, maafkan saya ya!"

Deadline

Aaaaa……….!!!!
Paling gak suka sama yang namanya deadline….!
Betapa tersiksanya ngerjain tugas dengan waktu yang terbatas
Lha udah tau tersiksa koq diulangi terus! Itu sih gara-gara akunya aja yang gak bisa bagi waktu!
Huh… Soalnya Otak orang kan kapasitasnya beda2!
Dan otakku Cuma bisa mikir kalo udah kepepet… huhu.. T_T!
Meski kadang deadline juga bisa bikin bahagia sih? Koq??
ya! bahagia saat nyadar kalo kita mampu menyelesaikan tugas dalam waktu dan tempo jang sesingkat2nya!
“Meskipun rada amburadul, Ternyata aku bisa juga ya.. hehe”, sambil ketawa ketiwi rada sombong geto ngeliat laporan tutorial yang baru mulai dikerjakan tadi malem..
Tapi tetep aja… memaksa otak berpikir keras dan tubuh bergerak cepat dalam waktu yang dibatasi itu gak enak banget! berasa maen kejar-kejaran! Tapi ini yang capek fisik sekaligus batinnya.. huff..
Kenapa sih, semua harus ada deadline-nya???
Lho?? Pertanyaan aneh…
Ya jelas harus ada!!
Biar gak seenaknya menggunakan waktu (kaya’ aku!)
Kalo gak ada deadline mungkin kebanyakan orang akan milih ngabisin waktunya buat seneng2 doank…
Oh.. mungkin yang paling penting karena…
Hidup kita juga ada deadline-nya ya??
Waktu kita di dunia terbatas, so kudu dibagi-bagi untuk hal-hal penting lain yang juga harus dikerjakan..
Hmh… keberadaan deadline ternyata gak bisa diganggu gugat,
Berarti yang harus digugat adalah… otakku yang mikirnya lemot karena akunya yang males… hehe…
Hayoh, Smangadh!!

KISAH 3 PEMUDA DALAM GUA

Dari Nafi' diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ada tiga orang dari umat sebelum kalian yang sedang mengadakan perjalanan. Tiba-tiba mereka ditimpa oleh hujan, maka mereka berteduh di dalam sebuah gua. (Tanpa disangka), gua tersebut menyekap mereka, (karena pintunya tertutup oleh sebuah batu besar). Maka ada sebagian dari mereka yang berkata kepada yang lain: "Demi Allah, tidak akan ada yang dapat menyelamatkan kalian kecuali sifat jujur (keikhlasan), oleh karenanya, saya harap agar masing-masing kalian berdo'a (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) dengan perantara (wasilah) suatu amal yang dia yakin dikerjakan dengan penuh kejujuran (keikhlasan).

Seorang dari mereka berdo'a: "Ya Allah, Engkau tahu bahwa dulu aku punya seorang pekerja yang bekerja padaku dengan imbalan 3 gantang padi. Tapi, tiba-tiba dia pergi dan tidak mengambil upahnya. Kemudian aku ambil padi tersebut lalu aku tanam dan dari hasilnya aku belikan seekor sapi. Suatu saat, dia datang kepadaku untuk menagih upahnya. Aku katakan padanya, 'Pergilah ke sapi-sapi itu dan bawalah dia'. Dia balik berkata, 'Upahku yang ada padamu hanyalah 3 gantang padi'. Maka aku jawab, 'Ambillah sapi-sapi itu, sebab sapi-sapi itu hasil dari padi yang tiga gantang dulu'. Akhirnya dia ambil juga. (Ya Allah), bila Engkau tahu bahwa apa yang aku perbuat itu hanya karena aku takut kepadaMu, maka keluarkanlah kami (dari gua ini)." Tiba-tiba batu besar (yang menutupi gua itu) bergeser.

Seorang lagi berdo'a: "Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku mempunyai bapak-ibu yang sudah tua. Setiap malam aku membawakan untuk keduanya susu dari kambingku. Suatu malam aku datang terlambat pada mereka. Aku datang kala mereka sudah tidur lelap. Saat itu, isteri dan anak-anakku berteriak kelaparan. Biasanya aku tidak memberi minum buat mereka sehingga kedua orang tuaku terlebih dahulu minum. Aku enggan membangunkan mereka, aku juga enggan meninggalkan mereka sementara mereka butuh minum susu tersebut. Maka, aku tunggu mereka (bangun) sampai fajar menyingsing. (Ya Allah), bila Engkau tahu bahwa hal tersebut aku kerjakan hanya karena takut padaMu, maka keluarkanlah kami (dari gua ini). Tiba-tiba batu besar itu bergeser lagi.

Yang lain lagi juga berdo'a: "Ya Allah, Engkau tahu aku mempunyai saudari sepupu (puteri paman), dia adalah wanita yang paling aku cintai. Aku selalu menggoda dan membujuknya (berbuat dosa) tapi dia menolak. Hingga akhirnya aku memberinya (pinjaman) 100 dinar. (Jelasnya), dia memohon uang pinjaman dariku (karena dia sangat membutuhkan dan terpaksa), maka (aku jadikan hal itu sebagai hilah untuk mendapatkan kehormatannya). Maka aku datang kepadanya membawa uang tersebut lalu aku berikan kepadanya, akhirnya dia pun memberiku kesempatan untuk menjamah dirinya. Ketika aku duduk di antara kedua kakinya, dia berkata, 'Bertakwalah engkau kepada Allah, janganlah engkau merusak cincin kecuali dengan haknya'. Maka dengan segera aku berdiri dan keluar meninggalkan uang 100 dinar itu (untuknya). Ya Allah, bila Engkau tahu bahwa apa yang aku kerjakan itu hanya karena aku takut kepadaMu, maka keluarkanlah kami (dari gua ini)". Tiba-tiba bergeserlah batu itu sekali lagi, dan Allah pun mengeluarkan mereka . (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wortel, Telur, dan Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang.
Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru. Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.
Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya. Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?"
"Wortel, telur, dan kopi" jawab si anak.
Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak.
Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.
Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?"
Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.
Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.
"Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya.
"Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?"
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.
Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.
Sabtu, 05 September 2009
Astaghfirullah….
Sungguh! Tidak ada satupun nikmat-Mu yang pantas kami dustakan Ya Rabb…
Ampuni hamba yang terlalu sering meminta lebih…
Terlalu sering meminta lebih, tapi tak pernah berbuat lebih untuk-Mu…
Rumah, 4 September 2009

Tausiyah Malam itu

Aku tidak tahu, apa yang ada di pikiranmu saat aku memberi tausiyah malam itu saudariku,,,
Apakah kau begitu memperhatikan dengan khidmat
Atau justru sebaliknya, kau enggan mendengarnya lagi..
Ah.. tapi tentu aku tidak berani berburuk sangka padamu saudariku..
Yang jelas, aku hanya melihatmu menunduk tanpa sedikitpun menatapku..
Aku mengerti, mungkin kau kecewa dengan keputusanku kemarin
Saat kau membaca surat pengunduran diriku itu…
Seandainya kau tau saudariku…
Aku pun sebenarnya sangat ingin…
Tapi syarat yang kau ajukan, mengharuskanku untuk mundur…
Saudariku, Semoga kau segera menyadari
Bahwa dimanapun dan seperti apapun ladangnya, benih dakwah tetap dapat tersemai dan tumbuh..